Contact Us | Privacy Policy | Terms Of Service

9 Jun 2013

Karya Sastra dan Hak Cipta



hak cipta
Karya sastra tidak datang dari langit. Ia merupakan hasil pergumulan sang pembuatnya dengan kondisi di dalam dirinya dan juga dengan lingkungannya. Ya, karya sastra memang dibuat, sebagai hasil rekaan satu atau beberapa orang atas berbagai peristiwa atau kondisi, baik yang dialami sendiri maupun yang dialami pihak lain.

Berbeda dengan masa lampau, yang menempatkan karya sastra sebagai milik bersama, milik masyarakat, karya sastra sekarang umumnya dimiliki oleh pembuatnya. Lalu, apakah masyarakat sekarang tidak boleh memilikinya? Memiliki dalam arti mengakui sebagai karya yang bisa diklaim sebagai karya siapa saja tentu saja tidak boleh. Selain melanggar etika, ada aturan hukum yang diterabas dengan bersikap demikian.

Masyarakat cukup menikmati saja dan atau mengapresiasi karya itu. Namun, perlu diingat, ada perjalanan yang relatif tidak sederhana agar karya sastra bisa sampai ke khalayak. Karena sekarang ini kebanyakan karya sastra dipublikasi dalam bentuk buku, perjalanan untuk bisa sampai ke tangan pembaca yang lebih luas melibatkan berbagai pihak, mulai dari penerbit, editor, percetakan, distributor, sampai toko atau penjual buku. Memang ada juga penulis sastra menjual sendiri karya langsung ke khalayak, tapi tetap saja ia tidak bisa benar-benar sendiri melakukannya. Selalu ada pihak lain.

Dilihat dari sana bisa dikatakan ada rantai ekonomi yang bisa bergerak dengan hadirnya karya sastra. Karena itu, sudah selayaknyalah sang pembuat karya sastra, sang kreator, ditempatkan dalam posisi istimewa, perlu diberi perlindungan khusus agar rantai ekonomi itu tidak macet atau berhenti sama sekali gerakannya. Saya kira, dilihat dari sejarahnya, pertimbangan ekonomis seperti itulah yang menelurkan gagasan dibuatnya aturan mengenai hak cipta—yang dilansir pertama kali sebagai aturan tertulis di Inggris pada tahun 1710 (lihat: http://­historyofcopyrig­ht.org/).

Dari sisi kreatifitas, karya sastra juga bisa menginpirasi atau memengaruhi seniman lain untuk menghasilkan karya kreatif yang lain lagi. Kita tahu, karya-karya Shakespeare banyak mengilhami sastrawan yang lain, mulai dari karya Whalt Whitman sampai ke Ezra Pound, karya Ezra Pound menginspirasi Hemingway, sampai film-film Woody Allen banyak terpengaruh karya Hemingway. Mahabharata dan Ramayana yang karya penulis India juga banyak memengaruhi karya sastra di nusantara, termasuk Indonesia, sejak berabad-abad lampau sampai sekarang.

Belum lagi karya sastra yang menginspirasi ilmu pengetahuan dan perubahan sosial, seperti novel-novel detektif Sherlock Holmes yang ditulis oleh Sir Arthur Conan Doyle yang banyak membuka jalan pada ilmu kedokteran forensik. Juga novel Tom Saywer karya Mark Twain yang menggugah banyak pemimpin Amerika Serikat untuk segera menghapus perbudakan dan rasisme.

Pendek kata, baik dari sisi ekonomi maupun sisi kreativitas, kehadiran karya sastra sampai sekarang masih tetap diperlukan. Belum lagi kalau dilihat dari sisi yang lain. Karena, ya, itu tadi: karya sastra berangkat dari apa yang ada Bumi, hasil pergumulan dengan realitas sosial, dan juga—seperti kata Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (Robert Escarpit. 2004. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor)—karya sastra merupakan kristalisasi keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma yang disepakati masyarakat.

Mengingat pengaruhnya yang besar pada cara berpikir dan bersikap seseorang, sudah selayaknya bangsa besar seperti bangsa Indonesia menjadikan karya sastra sebagai bagian dari hidupnya sehari-hari. Tapi, masalahnya, seperti telah disinggung di atas, karya sastra sekarang umumnya direkam dalam bentuk buku dan banyak jalur yang harus ditempuh untuk sampai ke tangan pembaca, sehingga harga buku pun menjadi relatif mahal. Wajar saja jika kemudian Indonesia menjadi bangsa yang tertinggal, bahkan di Asia Tenggara, dalam hal jumlah judul buku yang diterbitkan setiap tahun. Buku yang terbit di Indonesia dalam setahun kurang dari 18 ribu judul. Bandingkan dengan India yang 60 ribu judul per tahun dan Cina yang 140 ribu judul per tahun. Indonesia hampir sama dengan Malaysia dan Viet Nam. Tapi, kalau dilihat dari jumlah penduduknya, Indonesia jelas kalah dengan kedua negara tersebut.

Apa pasal? "Minat baca dan daya beli masyarakat yang rendah," kata Hikmat Kurnia, Ketua Panitia Jakarta Book Fair 2012 (lihat: kompas.com, 25 Juni 2012). Kalau soalnya seperti itu, memang tidak sederhana lagi solusinya. Tapi, yang tidak sederhana bukan berarti tidak bisa terpecahkan. Memang, diperlukan niat, iktikad, dan kesadaran diri yang kuat dari semua pihak agar soal-soal itu bisa segera diatasi. Karena, kalau tidak, bangsa ini akan semakin lama mendekam dalam keterpurukannya­.

Lalu, apakah peraturan perlindungan hak cipta bisa ikut membantu mengatasi soal tersebut? Kalau hanya peraturan itu saja, an sich, ya, jelas tidak. Karena, barangkali, yang dibutuhkan penulis buku sekarang ini justru bukan perlindungan terhadap hak ekonominya, tapi bagaimana agar bukunya bisa dibaca oleh seluas-luasnya pembaca. Jadi, jangan heran, kalau seorang teman penyair justru sangat mengharapkan kalau kumpulan puisi yang ia tulis dibajak.

Namun, untuk masuk kriteria "layak bajak", buku itu tentu harus layak baca atau sangat diburu oleh masyarakat, entah karena isinya atau hal-hal lain. Dan, karya sastra? Sungguh fenomena luar biasa kalau dalam beberapa tahun belakangan ini karya-karya sastra di Indonesia juga mengalami pembajakan. Dengan fenomena ini, haruskah penulis karya sastra itu merasa beruntung atau justru merasa dirugikan?

Andrea Hirata sampai harus mengadu ke istana karena novel-novelnya dibajak sampai lebih dari tiga kontainer. Jelas, Andrea Hirata dirugikan. Tapi, berapa banyak penulis karya sastra di Indonesia yang "seberuntung" Andrea Hirata? Mungkin tak lebih dari sepuluh orang.

Banyak yang lupa juga, karya sastra bukan hanya berbentuk prosa (novel atau cerita pendek). Tapi, ada juga yang berbentuk puisi dan drama. Dan, sampai saat ini belum pernah terdengar kabar ada buku kumpulan puisi atau lakon drama yang dibajak. Jadi, buat apa ada peraturan perlindungan hak cipta?

Peraturan itu tetap perlu ada, setidaknya untuk melindungi para penulis semacam Andrea Hirata. Tapi, yang lebih penting dari semua itu adalah political will dari pemerintah, setidaknya untuk meningkatkan minat baca, kalau belum bisa meningkat daya beli masyarakat. Pemerintah harus menyediakan anggaran untuk membeli karya-karya sastra dari berbagai genre (prosa, puisi, dan drama) untuk dibagikan ke sekolah-sekolah­, perpustakaan-pe­rpustakaan, taman-taman bacaan, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun yang merupakan hasil swadaya masyarakat. Juga menerbitkan karya-karya sastra yang bermutu dan mengaktifkan kembali lembaga-lembaga­ penerbitan yang berada di bawah naungan pemerintah.

Kalau itu tidak dijalankan, semangat yang ada dalam peraturan perlindungan hak cipta menjadi bertentangan dengan semangat yang ada dalam Pancasila, terutama dalam sila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Sungguh tidak adil kalau yang membaca karya sastra hanya yang mampu membeli buku dan yang dilindungi haknya hanya penulis karya sastra, sementara hak untuk menjadi pintar yang tentu saja dimiliki juga oleh kaum tak berpunya di negeri ini-dan dilindungi oleh konstitusi kita-malah diabaikan.

(Pedje, Sutradara Teater Pohon)


Diposkan di:
© 2015 Kumpulan Tulisan. All rights reserved.