Contact Us | Privacy Policy | Terms Of Service

19 Jun 2013

Reformasi Birokrasi Setengah Hati



reformasi demokrasi setengah hati
Oleh: DR. (HC) A.M. Fatwa

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi serta perubahan lingkungan strategis memberikan tuntutan yang begitu besar bagi penyelenggara negara. Bahkan, gelombang reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 sebenarnya juga menuntut penyelenggara negara untuk melakukan reformasi birokrasi pemerintahan agar mampu menciptakan kesejahteraan umum masyarakat.

Reformasi birokrasi pada hakekatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), serta sumber daya manusia aparatur dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Namun pada prakteknya, reformasi birokrasi yang bertujuan luhur tersebut belum sepenuhnya berhasil diterapkan dalam pemerintahan kita. Hanya setengah hati dan belum menyentuh substansi. Tak lebih hanya pencitraan bahwa mereka concern terhadap kebutuhan masyarakat untuk perbaikan sistem birokrasi yang sehat dan kuat.

Birokrasi yang sehat dan kuat, adalah birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara, dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.

Pelaksanaan reformasi birokrasi juga tidak dapat dipisahkan dari kehadiran figur seorang pemimpin. Karena itu, dalam aspek organisasi pemerintah untuk melakukan perbaikan dan perubahan pelayanan publik sangat tergantung dari peran pemimpin instansi pemerintahan (top down approach). Ciri kepemimpinan yang baik dan konstruktif tentu berlaku untuk semua kondisi dan tempat. Tak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal. Persoalannya adalah apakah kepemimpinan seperti ini dilahirkan atau diciptakan? Dan bagaimana menciptakan pemimpinan di tingkat lokal yang lebih berpihak kepada masyarakat?

Banyak kalangan memandang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan sebuah terobosan legislasi yang luar biasa dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Yang paling nampak dan banyak dijadikan sorotan adalah pergantian sistem pemilihan Kepala Daerah yang semula ditentukan oleh DPRD, sekarang ditentukan oleh rakyat. Hal ini diharapkan mampu memunculkan kepemimpinan lokal yang memenuhi preferensi mayoritas masyarakatlokal dan mempercepat terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik.

Terlepas dari sistem pemilihan pemimpin lokal yang beralih ke sistem yang berdasarkan de jure dan de facto, ada satu titik penting yang perlu kita garisbawahi, apapun sistem yang dipakai yang sangat kita harapkan sebagai rakyat yakni lahirnya pemimpin-pemimpin lokal yang kredibel, berintegritas tinggi dan memiliki visi masa depan, serta dapat menjadi panutan dan inovator bagi reformasi birokrasi yang dipimpinnya.

Kita tentu masih ingat gebrakan yang dilakukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta saat ini dalam “lelang jabatan” untuk menjaring pimpinan kecamatan dan kelurahan. Hal tersebut patut kita apresiasi karena sejalan dengan kebijakan percepatan reformasi birokrasi dengan melakukan open promotion. Dasar dari kegiatan penjaringan itu merupakan realisasi dari Surat Edaran Menteri PAN dan RB No. 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural Yang Lowong Secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah. Meski langkah itu sempat mendapat perlawanan dari berbagai pihak, bahkan bawahan sendiri, namun hal itu tidak menghentikan proses yang sedang berlangsung saat ini. Kita tentu berharap “lelang jabatan” bisa menghasilkan pejabat bersih, kompeten dan melayani masyarakat tidak feodalistik. Momentum ini merupakan contoh aktual bagaimana langkah-langkah perubahan di jajaran birokrasi DKI Jakarta, agar mampu memberikan pelayanan yang optimal dan memuaskan kepada masyarakat.

Terobosan lain yang dilakukan kepemimpinan lokal di Jakarta adalah bekerja dengan gaya “blusukan”. Pendekatan ini sangat ampuh untuk menemukan permasalahan riil di lapangan. Bahkan, rakyat Jakarta menerima keberadaan Jokowi-Ahok yang notabene bukanlah orang Jakarta asli. Rakyat Jakarta suka dan menyayangi pemimpin mereka. Tuhan ada di situ, kata Bung Karno yang juga merupakan pemimpin blusukan. Menjadi pemimpin yang blusukan sangat dibutuhkan era sekarang ini, tujuan utamanya adalah agar pemimpin hadir dan tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Seperti kita ketahui bahwa baru-baru ini telah muncul suatu gerakan relawan, dicetuskan di Bandung yang mendorong dan mempromosikan terus, agar Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mencalonkan diri menjadi Presiden RI pada Pilpres 2014.

Terlepas hal itu sebagai suatu hak demokrasi termasuk menjadi hak pribadi Gubernur Jokowi, tetapi dilihat dari segi kepentingan daerah khususnya bagi pembangunan ibukota yang multikompleks dan multidimensi, di mana sudah mulai nampak tanda-tanda keberhasilannya ditangan Gubernur Jokowi dengan program dan langkah-langkah yang jelas, tegas dan di jalan yang benar "on the right track". Maka sesungguhnya rakyat Jakarta sangat mengharapkan agar periode kepemimpinan Gubernur yang mereka pilih dengan "pekerjaan rumah" yang demikian banyak dapat diselesaikan secara utuh pada akhir periode sesuai dengan kalender konstitusi. Hal ini sekaligus dimaksudkan sebagai tolok ukur keberhasilan yang benar-benar bisa menjadi contoh bagi kepemimpinan daerah secara nasional.

Kita berharap dan menghimbau kepada Gubernur Jokowi untuk tidak tergiur desakan spontanitas dari kelompok masyarakat dan komunitas tertentu dan tetap lebih memfokuskan menyelesaikan amanat rakyat Jakarta yang telah memilihnya yang memang merupakan janji kampanye dalam pilgub yang lalu, untuk mewujudkan Jakarta Baru.

Jika kita melihat di banyak negara maju, khususnya di Amerika Serikat, calon Presiden umumnya ditampilkan tokoh dari daerah yang telah melewati ujian kepemimpinan yang terukur baik sebagai Senator ataupun Gubernur. Keberhasilan Joko Widodo sebagai Walikota Solo, kiranya masih perlu diuji tingkat kepemimpinannya dengan keberhasilnnya sebagai Gubernur Ibukota Jakarta.

Kepemimpinan merupakan realisasi dari sifat yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out). Karena itu, dengan berbagai ciri pemimpin dan kepemimpinan ini, maka selayaknyalah model kepemimpinan lokal harus direkonstruksi agar wujud kepemimpinan yang sejati dan amanah bisa didapatkan. Sebab, kepemimpinan seperti inilah yang akan menjadi tumpuan dan harapan masyarakat. Para pemimpin lokal yang saat ini diamanahkan oleh rakyat harus mampu merubah pemikirannya (mind set) agar bisa mentransformasikan dirinya menjadi pemimpin harapan rakyat.

Disampaikan pada Seminar "Reformasi Birokrasi" dengan penyelenggara DPD RI DKI Jakarta, 19 Juni 2013 di Ruang GBHN, Kompleks Parlemen, Senayan.


Diposkan di:
© 2015 Kumpulan Tulisan. All rights reserved.