Contact Us | Privacy Policy | Terms Of Service

24 Jul 2013

Suara Hati Seorang Bencong



suara hati seorang bencong
Jalanan, yah rasanya tiap sudut jalan yang setiap hari aku tapaki menjadi sebuah saksi mati kerasnya hidup. Keras hidup yang manis, di mana tiap butir debunya memberi harapan akan sebuah pencapaian maksimal jika mencapainya pun dengan usaha yang maksimal. Panas pagi belum menyengat, tapi bedak murahan yang menempel di wajahku sudahpun mengkilap dan menyumpuk. Bahkan aku sudah memoles bibirku yang sedikit berkumis ini lebih dari lima kali.

Lain dari biasa, aku begitu lemas dan tak bersemangat. Jauh dari yang namanya optimis yang sudah menjadi seperti baliho dengan slogan-slogan baik penyemangat diriku sendiri ataupun teman-temanku. Optimis yang selalu aku dapat dari diri sendiri dengan motivasi-motivasi basi yang dipaksa untuk menyelimuti diri di kesendirian yang sejati. Tak ada lagu indah pagi ini, tak ada alunan musik hari ini. Semua terdengar menggema, suara-suara pedagang seakan berlomba untuk didengar, suara-suara preman pasar yang parau mengumpat: "DASAR BENCONG!" ketika tak sengaja aku menginjak kakinya.

Sebenarnya apa yang salah padaku ketika aku seorang bencong atau bukan? Sebenarnya apa yang salah padaku ketika aku ngamen dengan suara sengau berharap terdengar merdu dan indah? Jika kau hubungkan dengan moral, bahkan jika kau sebut aku tak bermoral maka aku tak akan pernah terima, karena memang aku tak pernah paham apa itu moral. Jika kau sebut aku tak beriman, aku juga tak akan pernah mau terima, karena iman berarti percaya, aku percaya sepenuhnya pada Tuhan. Terlebih jika kau sebut aku tak beragama.

Semua hanya terpaku pada sesuatu yang nampak, anggap aku salah. Tak mengapa asal jangan hakimi aku. Karena yang aku lakukan tak ada yang merugikan orang lain bahkan jutaan orang di muka bumi. Lalu mengapa aku dihakimi sedemikian rupa? Mengapa memandangku hanya sekelebat mata? Mengapa menertawakanku? Mengapa mengejekku? Mengapa menjauhiku?

Rasanya aku iri pada butir-butir debu jalanan yang selalu tak dihiraukan orang, aku iri pada roda-roda kendara yang tetap melaju di ramainya arus meski merayap, aku iri pada angin yang sesuka hati melintasi tiap manusia yang ditemui tanpa harus menyita pandangan lucu, hina, mengejek atau hanya sekedar mendengus.

Bisa lebih bisa kurang. Aku tak butuh pengakuan ataupun legitimasi. Aku juga tak butuh konstitusi yang memayungi. Aku hanya butuh nurani ketika kau pandang aku, bukan hina atau iba. Tapi perlakukan aku biasa, selayaknya manusia, perlakukan aku selayaknya laki-laki atau perempuan. Jika itu terjadi maka aku tak akan berkeliaran menjual suara sengauku lagi bersama debu-debu jalan yang beruntung.

Ratusan kali aku bilang pada diriku sendiri bahwa tak ada gunanya mengorbankan keceriaan, optimisme, mimpi, harapan dan cinta hanya untuk bermuram demi berdebat pada diri sendiri untuk sesuatu yang mungkin tak akan pernah terwujud. Jikapun nasib berubah, semua hanyalah karena ikatan sebuah hukum yang sedang diperjuangkan oleh para aktifis itu. Tapi apa mau dikata, aku masih manusia.


Diposkan di:
© 2015 Kumpulan Tulisan. All rights reserved.