Contact Us | Privacy Policy | Terms Of Service

23 Sep 2013

Bagaimana Iklan Mempengaruhi Emosi Konsumen



bagaimana iklan mempengaruhi emosi konsumen
Anda sedang berada di sebuah toko pakaian dengan niat hanya untuk melihat-lihat. Sebuah kemeja sangat menarik perhatian Anda dan tanpa membandingkan kualitas bahan dan modelnya dengan kemeja lainnya, Anda sudah yakin bahwa Anda menginginkannya. Padahal jika Anda berpikir rasional, Anda mungkin tidak akan membelinya karena Anda sudah punya beberapa kemeja seperti itu.

Skenario di atas kemungkinan besar sudah akrab dan merupakan contoh bagaimana kita sebagai konsumen membuat penilaian dan cenderung mengandalkan perasaan dan emosi saat berbelanja. Tentu saja, hal tersebut tidak selalu terjadi terutama jika Anda meluangkan waktu untuk membandingkan antara barang yang Anda butuhkan dengan pilihan alternatif lainnya. 


Ikatan emosional dengan merek tertentu tumbuh berkembang dari dari waktu ke waktu dalam memori ingatan kita secara non-sadar. Ketika ingatan kita "diingatkan" kembali, yang terjadi bukan hanya asosiasi kognitif dengan merek tertentu, seperti manfaat atau fitur, tetapi juga perasaan emosional tentang merek itu. Sering kali sulit bagi konsumen atau pemilih untuk menjelaskan alasan yang tepat mengapa menyukai merek tertentu. Hal ini karena ikatan emosional melibatkan persepsi holistik.

Iklan dan Emosi


Iklan secara intens menyerang respon emosional dari konsumen. Selain itu, kondisi pikiran konsumen saat melihat iklan juga ikut mempengaruhi respon emosionalnya. Artinya, konsumen membuat pilihan yang konsisten dengan keinginan untuk mengelola tingkat rangsangan emosionalnya. Misalnya, bagaimana iklan pemutih kulit secara intens menyerang respon emosional para konsumen bahwa kalau mau kelihatan cantik, kulit harus putih.

Dalam iklan, pesan-pesan emosional laten sangatlah penting. Sumbernya? Berbagai emosi yang muncul melalui interaksi konsumen dengan lingkungan sosial dan alam. Artinya, konsumen sudah memiliki pendapat dan emosi pada sejumlah hal dalam kehidupan sehari-harinya, sebagian besarnya bahkan tanpa disadari.

Secara umum, setiap orang mengandalkan keadaan afektifnya untuk dijadikan preferensi, artinya, ketika dihadapkan dengan pilihan antara 2 produk yang berbeda, konsumen bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah saya merasa lebih baik dengan ini atau itu?".

Strategi Iklan

Ketika membuat dan mengelola sebuah iklan, sangat penting untuk memasuki dunia tersembunyi dalam asosiasi kode sambil tetap menjaga pencitraan dan kepribadian konsisten dari merek yang diiklankan agar konsumen memiliki hubungan emosional yang kuat dengan merek tersebut. Dalam salah satu bukunya, Philip Kotler mengakui kebutuhan untuk membuat strategi iklan berbasis konsumen yang lebih holistik dan menarik bagi seluruh orang, strategi iklan yang menggunakan taktik pesan afektif agar terjadi respon kognitif dari konsumen, sambil tetap menyertakan penggunaan daya tarik emosional yang halus dan tersembunyi.


Diposkan di:
© 2015 Kumpulan Tulisan. All rights reserved.